|
20/08/2004 |
|
|
|
�Kita begitu terbiasa membeda-bedakan antara orang-orang miskin yang baik dan orang-orang miskin yang jelek. Tetapi Yesus dekat dengan orang-orang miskin karena mereka itu miskin. Bukan karena mereka itu baik,� tegas Mgr Vincenzo Paglia, Asisten Eklesiastik Komunitas Sant�Egidio. Pernyataan Mgr Paglia dari Keuskupan Terni-Narni-Amelia, Italia ini disampaikan dalam pertemuan Komunitas Sant�Egidio di Panti Semedi Sumberanom, Klaten, Jawa Tengah. Pertemuan selama 4 hari (30/6-3/7) itu dihadiri sekitar 50 orang, di antaranya 7 uskup, yakni Uskup Agung Semarang Mgr I. Suharyo Pr, Uskup Bogor Mgr Michael Cosmas Angkur OFM, Uskup Bandung Mgr Alexander Djajasiswaja Pr, Uskup Tanjungkarang Mgr Andreas Hendrisoesanta SCJ, Uskup Padang Mgr Martinus D. Situmorang OFMCap, Uskup Palangkaraya Mgr Al. Sutrisnaatmaka MSF, dan Uskup Banjarmasin Mgr F.X. Pradjasuta MSF. Pertemuan yang bertemakan Injil Cinta Kasih ini merupakan hasil kerja sama Komunitas Sant�Egidio (St Egidius) dengan Keuskupan Agung Semarang (KAS). Dalam sambutannya sebagai �tuan rumah�, Mgr Suharyo mengajak peserta melihat situasi dunia sekarang. Menurutnya, arus globalisasi yang dasyat sekarang ini menciptakan berbagai kesenjangan dalam masyarakat yang berbuntut pada kekerasan. Dalam situasi demikian, masih Mgr Suharyo, Gereja ditantang untuk memberi kesaksian sebagai komunitas pengharapan. Komunitas internasional Komunitas Sant�Egidio lahir di Roma tahun 1968, segera setelah Konsili Vatikan II. Sekarang, komunitas internasional ini menjadi gerakan awam dengan anggota lebih dari 40.000 orang tersebar di Italia dan lebih dari 60 negara lainnya di berbagai benua. Di Indonesia, komunitas ini sudah hadir di Padang, Pekanbaru, Duri, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Atambua. Para anggota disatukan dalam semangat dan dasar yang sama, yaitu mewarnai kehidupan lewat doa bersama, kesaksian semangat Injil dalam hidup sehari-hari, solidaritas, dan playanan pada kaum miskin. Mereka juga aktif untuk dialog antaragama dan ekumenis, serta perjuangan untuk perdamaian. Komunitas ini tertahun-tahun memiliki tradisi mengumpulkan para gembala dan uskup untuk berbagi pengalaman. Pertemuan di Klaten ini merupakan penerusan tradisi tersebut. Di Komunitas induk, di Roma, pertemuan seperti ini berlangsung setiap awal Februari yang mengundang juga gembala umat dari Gereja lain seperti Ritus Timur, Ortodoks, Anglikan, Luteran, dan lain-lain. Mgr Paglia di Klaten ini ditemani Ibu Valeria Martano dan Pastor Leon Lemmens. Keduanya menjadi coordinator dan penghubung antara komunitas induk di Roma dengan komunitas-komunitas di Indonesia. Selama pertemuan, Mgr Paglia menyampaikan dua topic pembicaraan mengenai �Sabda Tuhan dalam Komunitas� dan �Penghayatan Kasih Bersama Kaum Miskin�. Pastor Adrianus Suyadi SJ, yang sehari-harinya bergumul dengan para pengungsi di Ambon mengaku pertemuan ini memberikan penyegaran rohani dan psikis. Aktivis JRS (Jesuit Refugee Service) ini merasakan bahwa para pengungsi terlantar di Maluku yang dilayani dengan mati-matian itu benar-benar sebagai saudara-saudaranya. Hal serupa dialami Mgr Situmorang. Ketika tiba di Klaten, uskup Padang ini tampak lelah namun ketika akan meninggalkan Klaten mukanya lebih cerah dan banyak tawa. Pada malam terakhir, pertemuan ditutup dengan Prosesi Ikon Ekumenis Para Martier dan Saksi Iman Baru dalam Abad XX, yang antara lain memunculkan gambar Pastor Tarcisius Dewanto SJ yang gugur melindungi para pengungsi di Suai, Timor Leste, 6 September 1999. Usai Misa Penutupan, peserta disuguhi musik mistik Kua Etnika Pimpinan Jaduk Ferianto. L. Soeharno, ibunda Pastor Dewanto tampak hadir dalam acara ini. Petrus Puspobinatmo SJ/Nuriati
|