|
Mirifica |
13/12/2005 |
|
|
Komunitas Sant�Egidio setelah menggelar kampanye internasional bertema, �Kota untuk kehidupan, Kota-kota menentang hukuman matKota untuk kehidupan, Kota-kota menentang hukuman mati- Tidak ada Keadilan tanpa penghargaan atas kehidupan� (30/11), dalam sebuah refleksi bersama dengan kaum religius selama masa Adven di aula Gereja Santa Maria Trastevere, Roma, (5/12) kembali menegaskan komitmen pelayanan mereka pada orang-orang miskin, kelompok terpinggirkan, secara khusus pembelaan bagi martabat kehidupan dengan menuntut kepada setiap pemerintahan untuk segera menghapuskan hukuman mati. Pada akhir acara Komunitas berdoa bagi para narapidana yang terancam hukuman mati di manapun mereka berada, secara khusus mereka berdoa bagi Fabianus Tibo, Domingus da Silva dan Marianus Riwu yang permohonan grasinya ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 November lalu. Komunitas Sant�Egidio sejak tahun 2001 melancarkan kampanye besar-besaran untuk menentang dihapuskannya hukuman mati dan menuntut sebuah penjara yang lebih manusiawi. Kampanye atas penghapusan hukuman mati yang dipromotori oleh Komunitas Sant�Egidio yang dilakukan secara serentak di 350 kota besar di Eropa dan dunia, mulai dari Roma, Brussel, Madrid, pada 30 november lalu, ditandai dengan dinyalakannya lampu-lampu pada monumen penting setiap kota, dari Koloseo Roma, Piazza Santa Anna di Madrid, dll. Dalam kampanyenya yang keempat, Komunitas Sant�Egidio mengambil tema �kota untuk kehidupan, kota-kota menentang Hukuman mati.� Kampanye menentang hukuman mati yang dipromotori oleh komunitas Sant�Egidio didukung oleh organisasi internasional yang tergabung dalam Koalisi Dunia menentang Hukuman Mati (World Coalition Against the Death Penalty), seperti Amnesty International, Ensemble contre la Peine de Mort, International Penal Reform, FIACAT. Valeria, koordinator Komunitas Sant�Egidio untuk Indonesia menyatakan rasa prihatinnya atas nasib 3 orang Indonesia yang grasinya ditolak oleh Presiden sehingga bayang-bayang maut hari-hari ini sedang mengintainya. Untuk kasus Indonesia, lanjut, Valeria, kasusnya memang lebih khusus, sebab sebuah pengadilan yang tidak adil, korup, membuat keputusan apapun yang dikenakan pada para tersangka menjadi sebuah perilaku ketidakadilan.
Doni Koesuma
|