Comunità di S.Egidio


 

UCAN

08/06/2006


INDONESIA - KOMUNITAS SANT�EGIDIO BUKA DAPUR UMUM UNTUK KORBAN GEMPA

 

KLATEN, Jawa Tengah (UCAN) -- Komunitas Sant'Egidio di Indonesia membuka sebuah dapur umum di sebuah daerah yang terisolasi yang terkena gempa bumi baru-baru ini di Yogyakarta dan Jawa Tengah karena tidak mendapatkan bantuan.

Sekitar 50 mahasiswa dan anggota Sant'Egidio lainnya yang berasal dari Jakarta dan Yogyakarta membantu Dusun Jali di Gayamharja, sekitar 25 kilometer timur Yogyakarta, pada sore hari 27 Mei.

Mereka menanggapi sebuah permintaan Uskup Agung Semarang Mgr Ignatius Suharyo untuk membantu para korban gempa karena bantuan lain tidak dilakukan di daerah itu. Di Jali, para relawan itu membagi-bagikan tenda-tenda, obat-obatan, pakaian, selimut, makanan ringan. Mereka juga membuka dapur umum.

Komunitas Sant'Egidio dimulai di Roma tahun 1968. Gerakan awam yang diakui Gereja itu mengklaim memiliki lebih dari 50.000 anggota di lebih dari 70 negara.

Gempa bumi itu meluluh-lantahkan Yogyakarta dan Jawa Tengah 27 Mei pagi. Rumah-rumah hancur dan sekitar 6.000 orang tewas, demikian laporan dari berbagai sumber berita. Daerah yang mengalami bencana itu berada di wilayah Keuskupan Agung Semarang.

Paroki St. Maria Bunda Kristus, yang berpusat di Wedi, meliputi Jali, sebuah dusun yang mayoritas Katolik. �Bukan karena di sini kebetulan mayoritas penduduknya adalah umat Katolik, melainkan karena dari sini kami dapat menjangkau dusun-dusun sekitar yang tidak terjangkau oleh bantuan dari luar,� kata Evelin Minarko, 40, seorang anggota Sant'Egidio kepada UCA News 1 Juni.

Dapur umum itu, katanya, tidak hanya untuk para korban yang beragama Katolik, �tapi untuk yang non-Katolik yang tinggal di daerah terisolasi ini.� Wanita dari Jakarta itu menambahkan, berdasarkan survei dari para relawan laki-laki, akhirnya mereka berhasil menjangkau daerah-daerah itu.

Dengan bantuan ibu-ibu setempat, kelompok awam itu memberi sekitar 1.400 kotak makanan setiap hari bagi orang-orang, yang sibuk membersihkan puing-puing dari rumah-rumah yang runtuh. Makanan itu termasuk nasi dan masakan khas lokal. �Sengaja kami libatkan ibu-ibu di sini, sebab mereka yang tahu kebiasaan menu di sini,� tambahnya.

Menurut Minarko, kehadiran organisasinya menunjukkan solidaritas dengan masyarakat dan peduli terhadap mereka. �Kami ingin mengungkapkan solidaritas kami dengan aksi,� katanya. Nama posko bantuan mereka adalah �Komunitas Sant'Egidio, sekedar untuk jelas bahwa kelompok kami ini legal,� tambahnya.

John Bheo Rea mengatakan organisasi itu menggalang dana dan mengumpulkan bantuan materi dari anggota kelompok di berbagai kota. �Namun kami sesungguhnya ingin berbagi dengan para korban tidak hanya sekedar bantuan pangan tapi �bantuan hati.� Itulah sebabnya kami memilih tinggal di sini -- tidak hanya mendrop bantuan lantas pergi. Kami ingin bersama-sama mereka, omong-omong dan berbagi cerita, mendengarkan keluh-kesah mereka. Kami ingin menjalin persahabatan dengan mereka, bahkan menjadi saudara bagi mereka,� jelasnya.

Mahasiswa Universitas Katolik Sanata Dharma di Yogyakarta itu mengatakan, organisasi itu akan tinggal sepanjang keberadaan mereka masih dibutuhkan, �Namun kami berharap hubungan kami dengan para korban akan berlanjut di hari-hari mendatang agar benih persaudaraan yang ditanamkan dapat bertumbuh,� tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa Komunitas Sant'Egidio tidak akan berjanji untuk membangun rumah-rumah mereka, �namun membantu mereka dengan hal-hal kecil yang tidak dilakukan oleh orang lain.�