"Semangat Assisi" sekarang kembali ke tempat asalnya di Assisi. Semangat ini dilahirkan di sini, di tahun 1986, 30 tahun yang lalu, selama Perang Dingin. Ini adalah inisiatif pribadi yang berani dari Paus Yohanes Paulus II. Semasa dunia mulai berubah, Paus Wojtyla telah mengerti bagaimana agama bisa berperan aktif untuk membuat perdamaian. Dia juga mengerti bagaimana agama dapat tergoda untuk menguduskan perang dan identitas. Itulah sebabnya dia mengundang para pemimpin agama di Assisi tidak untuk berdiskusi diantara mereka saja tapi untuk berdoa bagi perdamaian. Ini adalah intuisi yang mendalam dari segi geopolitik dan juga spiritual. Yohanes Paulus II, dalam wawancara dengan Messori, menegaskan tentang agama bahwa “Saya akan mencoba untuk menunjukkan bagi agama-agama ini apa yang merupakan unsur-unsur yang penting, akar yang sama”. Di Assisi, Paus menunjukkan bagaimana aspirasi untuk perdamaian adalah sesuatu yang menyatukan agama dan menekankan bahwa doa merupakan akar dari perdamaian. Ini adalah titik balik. Mulai dari doa, sebuah perjalanan dialog ekumenism dan dialog antar agama telah dikembangkan.
Tanggal 27 Oktober 1986 itu dianggap sebagai hari bersejarah, tidak hanya oleh para peserta. Ini karena di hari tersebut diusulkan hal yang baru yang dinantikan oleh banyak orang. Hal ini mempunyai dampak yang besar pada agama-agama, misalnya, bagi agama Jepang yang menjalankan perjalanan ini di tahun-tahun berikutnya. Hal ini juga mengakhiri kisah-kisah sekuler, isolasi dan ketidakmautahuan dunia ini. Hal ini juga mengakhiri cerita-cerita yang rasanya sudah lama berlangsung, seolah-olah hal ini adalah takdir. Orang dari agama-agama yang berbeda, yang dalam beberapa tahun akan dipengaruhi oleh globalisasi, akan lebih menyebar dan bercampur di banyak bagian di planet kita. Tidak ada seorang pun yang dapat hidup sendiri, seperti di sebuah pulau. Dalam "Semangat Assisi" diusulkan untuk hidup bersama, berdasarkan agama.
Dunia global ini memerlukan hidup bersama ini, terlebih-lebih di masa sekarang. Karena masa sekarang, kita perlu menghadapi hal-hal hidup yang baru seperti mencari atau menegaskan identitas, terrorism, evaluasi perang. Pada tahun 90-an, diperlukan membangun peradaban di luar konflik peradaban dan agama. Untuk itu pertemuan di Assisi ini penting, begitu juga cerita yang mengiringinya.
Di kota Fransiskus pada tahun 1986 tersebut, berbagai agama berkumpul bersama dalam damai dan doa. Banyak yang ingin mengingatkan Paus tentang resiko inisiatif ini. Banyak juga yang takut dan menyarankan agar pertemuan antar agama dalam nama damai ini tinggal menjadi fakta yang terisolasi dan tidak diulangi lagi. Jika tidak, akan ada kesalahan atau ketidaksempurnaan. Meskipun demikian, Paus Wojtyla sangat mendukung agar cerita ini dilanjutkan. Tahun-tahun ke depan membuktikan bahwa beliau benar. Semangat Assisi tersebar dengan dialog yang kaya dan jelas setiap tahunnya. Keluarga Fransiskan di seluruh dunia membicarakan tentang Semangat Assisi ini. Uskup Agung Bergoglio dari Buenos Aires menyatakan bahwa “nubuat Assisi” adalah sebuah “warisan dari Yohanes Paulus II untuk generasi masa kini dan masa depan.” Saya teringat dengan seorang Uskup Suriah, Mar Gregorios Ibrahim, yang dengan antusias memupuk dialog antar agama, setelah berpartisipasi di Assisi pada tahun 1986. Beliau diculik pada tahun 2013 dan sudah bertahun-tahun kami belum mendengar kabarnya.
Pada hari Minggu di Assisi, pertemuan dimulai, dengan partisipasi dari Patriak Ekumenisme Bartolomeo, di hadapan Presiden Italia Mattarella. Banyak pemimpin-pemimpin agama dan budayawan berkumpul untuk berdialog tentang masalah spiritual dan juga tentang situasi konflik. Pada hari Selasa, Paus Fransiskus akan bergabung dalam seruan Perdamaian dengan pemuka-pemuka agama di bukit Assisi, setelah doa menurut tradisi agama masing-masing di Biara Suci, tidak jauh dari makam Santo Fransiskus. Di Assisi, kita akan berdoa untuk perdamaian. Doa dapat menekuk semua kekerasan dan memperkuat seruan orang-orang yang menderita karena perang. Kami akan berdoa untuk Aleppo dan Suriah. Dan juga untuk semua negara yang sedang berperang atau terancam oleh kekerasan.
Hal ini tidaklah sebuah peristiwa yang terisolasi. Gereja-gereja di Italia akan berpartisipasi dalam Doa untuk Perdamaian ini. Begitu juga beberapa gereja lain di dunia. Di 55 kota di berbagai benua, berbagai agama juga akan berdoa bagi perdamaian pada hari yang sama. Dunia kita terlalu dipenuhi oleh kebencian dan perang. Doa adalah kekuatan bagi perdamaian (kekuatan bukan dalam bentuk kekerasan tapi kekuatan yang rendah hati). Santo Yohanes Paulus II, pada tahun 2000, menulis kepada Sant’Egidio untuk pertemuan di Lisbon: “Saya yakin bahwa “Semangat Assisi” adalah sebuah hadiah takdir untuk zaman kita. Dalam keragaman ekspresi agama yang diakui secara sah, bersama-sama satu dengan yang lain adalah sebuah manifestasi yang nyata dari kesatuan keluarga manusia”. |